Dr.-Ing Eko Adhi Setiawan
Direktur TREC (Tropical Renewable Energy Center) Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Harga listrik non subsidi bersumber energi matahari terhubungan jaringan utilitas (PLTS on-grid) mencapai rekor terendahnya pada tender proyek 350 MWp di Swaihan Abu Dhabi yaitu 2,42 sen US/kWh atau sekitar 323 rupiah/kWh (September 2016). Empat bulan sebelumnya, Mei 2016 masih di Uni Emirat Arab, Dubai Electricity and Water Authority (DEWA) mengumumkan 2,99 sen US/kWh atau sekitar 400 rupiah/kWh pada proyek tahap III 800 MWp . Angka ini setengah lebih rendah dari penawaran pada proyek tahap II yang dimenangkan oleh Acwa Power, Saudi Arabia yaitu 5,98 sen US/kWh pada akhir tahun 2014. Rencana total kapasitas PLTS adalah 5 GWp dengan luas lahan 40 km persegi disebelah selatan kota Dubai yang dimulai dengan proyek tahap I tahun 2013 sebesar 13 MWp, dan tahap II sebesar 100 MWp. Hal ini didasari oleh visi dan arah kebijakan yang jelas, Dubai Clean Energy Strategy2050 yang mentargetkan 25% dari total daya listrik berasal dari sumber energi bersih pada tahun 2030 dan mencapai 75% pada tahun 2050.
Mencermati dinamika angka penawaran harga listrik non subsidi yang diajukan oleh konsorsium perusahan internasional pada tender PLTS on grid di beberapa negara dari tahun 2013-2016 berkisar antara 8,5 sen US/kWh tahun 2013 pada proyek PLTS berkapasitas 23 MWp di New Mexico. Tahun 2014 sebesar 7,1 sen US/kWh di Texas dalam skala 150 MWp dan 5,84 sen US/kWh di Dubai, 100 MWp. Selanjutnya pada tahun 2015, mencapai 4,9 sen US/kWh di Saudi Arabia 50 MWp. Tahun 2016 tercatat 4,85 sen US/kWh di Peru berkapasitas 185 MWp, 3,6 sen US/kWh di Mexico 754 MWp dan 2,99 sen US/kWh di Dubai, 800 MWp. Penawaran harga tersebut terikat dengan perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement) selama 20 sampai 25 tahun.
Beberapa poin menarik adalah bahwa harga penawaran listrik dari PLTS menunjukkan bahwa harga listrik tersebut sudah dibawah dari harga listrik dari sumber energi fosil seperti gas alam yaitu rata-rata sebesar 7 sen US/kWh di Uni Emirat Arab, dan harga listrik dari batubara dengan kapasitas 1.200 MWp di Dubai yaitu sebesar 4,5 sen US/kWh, dengan catatan bahwa harga listrik dari energi fosil tersebut belum termasuk biaya dampak lingkungan yang akan terjadi.
Harga penawaran terendah pada tender mega-proyek PLTS diatas dapat ditelusur dengan pendekatan perhitunganlevelized cost of energy (LCOE). LCOE adalah parameter penting pada industri utilitas untuk mengetahui besarnya biaya listrik yang dihasilkan oleh sebuah pembangkit. Nilai LCOE yang relatif rendah menunjukkan bahwa listrik atau energi yang dihasilkan dari pembangkit tersebut miliki biaya yang rendah, sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi untuk investor. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya LCOE pada PLTS: potensi radiasi matahari, harga biaya total PLTS terpasang (total installed costs) dan suku bunga.
Ciri khas energi terbarukan adalah site specific, bahwa besarnya energi disetiap lokasi akan berbeda-beda. Besarnya daily average solar irradiance (DASI) atau rata-rata harian radiasi matahari yang diukur dalam satuan kWh per-meter persegi dalam sehari menjadi faktor penting. Sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa Indonesia berada dalam cakupan garis lintang yang cukup lebar diantara 6oLU sampai 11oLS, maka intensitas radiasi matahari yang diterima akan bervariasi dan berpengaruh pada jumlah energi yang dihasilkan dari panel surya dan pada akhirnya mempengaruhi besarnya LCOE.
Biaya total PLTS on grid mencakup tiga aspek yaitu biaya panel surya, biaya inverter, dan biaya BOS (Balance of System). Berdasarkan data dari laporan IRENA Juni 2016, trend biaya panel surya dari tahun 2009 sampai hasil tahun 2016 mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar 80%. Selama tahun 2015, biayanya cukup bervariasi di berbagai negara yaitu dalam kisaran USD 0,52 sampai USD 0,72/Watt. Untuk inverter diatas kapasitas 100 kWp mengalami penurunan, pada tahun 2015 mencapai 0,14 USD/Watt, sedangkan produk china dengan kapasitas yang sama dalam kisaran 0,03-0,05 USD/Watt. Biaya BOS terbagi menjadi juga terbagi dalam tiga kategori yaitu 1) biaya BOS hardware mencakup pengkabelan, racking dan mounting, interkoneksi ke jaringan, dan kontrol. 2) biaya pemasangan sistem mekanik, elektrik dan keamanan. 3) biaya tak langsung atau soft cost yang mencakup biaya akuisisi lahan, perijinan dan konsultan sistem desain dan studi interkoneksi. Perizinan dan persyaratan lisensi untuk PLTS terhubungan jaringan utilitas sangat bervariasi di beberapa negara, bahkan antar wilayah dalam satu negara. Oleh karena itu penting untuk membangun sinergi antara pihak pengembang/investor dengan pemerintah terkait perencaaan daerah, hukum dan regulasi yang jelas dan transparan.
Pada tahun 2009, biaya total PLTS terpasang sekitar 4,5-5 USD/watt, masih didominasi oleh biaya solar panel dan inverter yang porsinya mencapai 63% dan biaya BOS 37%. Namun, tren biaya tersebut berubah seiring perkembangan teknologi dan produksi massal dari panel surya, sebagai contoh pada tahun 2015 biaya total PLTS terpasang menurun menjadi 1,8 USD/watt dengan porsi biaya BOS sekitar 60% dimana sisanya adalah biaya panel surya dan inverter yang harganya terus menurun secara cukup drastis, dan biaya BOS meningkat porsinya karena menyangkut upah pekerja, perizinan dan lahan.
Bagaimana di Indonesia ?
Kapasitas PLTS on grid terpasang di Indonesia masih dibawah 10 MW, sudah tertinggal jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia 284 MW, Thailand telah mencapai 1.290 MW . Belum lagi Jerman yang sudah memasang PLTS on grid 39.640 MW dan Jepang 33.300 MW. Ditinjau dari potensi intensitas radiasi matahari di Indonesia seperti Aceh, Medan sekitar 4,53; Jakarta 4,75; Ternate hampir serupa dengan Jayapura yaitu 4,98 dan Kupang,NTT mencapai 5,26 kWh/m2/hari. Potensi yang cukup rendah di Indonesia justru terletak di kota Pontianak dan Samarinda sebesar 4.14 kWh/m2/hari. Jika dibandingkan beberapa kota seperti Austin,Texas 4,57; Abu Dhabi 4,8; Riyadh sebesar 6,06 dan Mexico city sebesar 4,9 kWh/m2/hari maka potensi di beberapa kota di Indonesia relatif tidak berbeda jauh, kecuali Riyadh yang mempunyai potensi energi yang lebih tinggi. Berikut beberapa usulan agar pembangunan PLTS on grid dapat dioptimalkan untuk mendapatkan nilai LCOE yang relatif rendah:
- Pembangunan PLTS on grid untuk skala besar harus mempunyai visi, kebijakan dan target (waktu & total kapasitas) yang jelas, tidak berubah-ubah dan diprogram secara berkesinambungan per periode sehingga ada kepastian dalam berinvestasi.
- Pemerintah memberikan dukungan insentif dan pajak, terutama pada harga panel surya dan inverter. Pemilihan teknologi yang berkualitas tinggi dapat mengurangi biaya BOS karena efisiensi sistem terjamin danlife time sistem PLTS secara keseluruhan dapat mencapai 20 – 25 tahun.
- Pengembangan kemampuan sumber daya manusia, keahlian, sertifikasi personal juga dapat menekan biaya BOS.
- Pembangunan PLTS on grid sangat memperhatikan kapasitas, kualitas jaringan,jenis pembangkit lain yang beroperasi dalam sistem PLN dan infrastruktur kontrol-komunikasi yang handal, agar sistem PLTS on griddapat beroperasi dengan baik dan tidak mengganggu kestabilan sistem. Dalam sistem PLTS on grid tidak mengenal penambahan baterai dengan alasan menjaga kestabilan sistem, yang diperlukan adalah perencanaan dan desain yang komprehensip antara PLN dan pengembang.
- Perihal pengurusan perizinan dan biaya lahan, pemerintah pusat dan daerah dapat memberikan kemudahan kepada para investor.
- Mengevaluasi dan mengambil pelajaran dari pengalaman PLTS on grid yang sudah terpasang di beberapa lokasi di Indonesia karena sudah ada yang tidak beroperasi dengan baik.
Bila keenam poin ini mendapatkan perhatian serius dari pemerintah bukan tidak mungkin harga listrik dari PLTS On grid di Indonesia dapat berkisar 5.5-6.5 sen US/kWh dengan kapasitas diatas 250 MWp.
No comments:
Post a Comment