Wednesday, February 3, 2016

Tantangan Photovoltaic Indonesia versi APAMSI

INTERVIEW
SEKRETARIS JENDERAL
ASOSIASI PABRIKAN MODUL SURYA INDONESIA
(APAMSI)
1. Saat ini terdapat 8 pabrik perakitan modul surya di Indonesia, namun baru 5
perusahaan yang menjadi anggota APAMSI yaitu PT. LEN Industri (Persero),
PT. Surya Utama Putra, PT. Swadaya Prima Utama, PT. Adyawinsa Electrical &
Power, PT. Azet Surya Lestari dan PT. Wijaya Karya Intrade Energi.
2. Pabrikasi panel surya merupakan industri energi surya yang mempunyai resiko
paling kecil dibandingkan industri sel surya, industri wafer dst. Resiko ini terkait
biaya investasi yang dibutuhkan sedangkan permintaan industri di dalam negeri
masih rendah.
3. Produksi rata-rata anggota APAMSI adalah 16% dari total kapasitas produksi
karena masih mengandalkan proyek pemerintah. Akibatnya, pabrik hanya
bekerja pada bulan Agustus – Desember tiap tahunnya.
4. Pemerintah sebenarnya membuat pasar yang lebih besar yaitu lelang kuota
energi surya 140 MW di 82 lokasi sebagai bentuk implementasi Permen ESDM
17/2013 ttg Pembelian Tenaga Listrik oleh PT. PLN dari Pembangkit Listrik
Tenaga Surya Fotovoltaik;
5. Dengan target kapasitas 140MW tersebut, maka Indonesia layak membuat
industri sel surya di dalam negeri. Bila target ditingkatkan menjadi 500MW maka
layak dibangun industri wafer silika di dalam negeri selanjutnya jika target
menjadi 1 GW maka industri energi surya dalam negeri mampu menyerap
bahan mineral, nikel dan sebagainya untuk bahan baku panel surya.
6. Mineral nikel Indonesia selama ini diekspor di Cina untuk kemudian diproses
lebih lanjut menjadi silika → ingot → silikon → wafer → sel surya yang kemudian
diekspor kembali ke Indonesia untuk dirakit menjadi panel surya;
7. Untuk memaksa produsen membuka pabriknya di dalam negeri dapat meniru
langkah Malaysia yang melarang impor PLTS. Cara lain yang dapat dilakukan
adalah pelarangan expor mineral sehingga produsen akan bangun smelter di
dalam negeri dan kemudian expor ingot yang dihasilkan. Setelah itu, pemerintah
perlu keluarkan larangan expor ingot untuk paksa produsen produksi wafer di
dalam negeri.
8. Terkait lelang kuota PLTS, APAMSI tidak bisa berkompetisi dengan PLTS china
yang mempunyai kapasitas produksi 3,7 GW per tahun. China pun melakukan
dumping harga karena harga impor sel surya $0,697/W sedangkan harga impor
panel surya jadi $0,7/W. Akibatnya adalah :
CKD (Komponen panel surya?) Panel surya
FOB China ($/W) 0.697 0.7
CNF Tj. Priok 0.8 0.8
+BM, PPn, PPj Sel = 0%
Silin = 20%
ALE =10%
TGU=15%
0%
On truk ($/W) 1,1 – 1,2 0.8
9. Panel surya Cina sudah dikenakan sanksi dumping dan hal ini perlu ditiru oleh
Indonesia dengan sanksi sehingga harga panel surya cina menjadi $1,9/W. Hal
ini diperlukan karena biaya produksi APAMSI sebesar $1,3 – 1,5.
10. Kaca panel surya pun sebenarnyad bisa diproduksi di dalam negeri (contohnya
ASAHI) namun belum bisa melayani permintaan APAMSI yang dinilai terlalu
kecil yaitu volume 1 x produksi kaca setara engan volume penjualan APAMSI
selama 3 tahun.
11. Standarisasi SNI tidak bisa menutup impor PLTS Cina karena selama ini panel
surya Cina sudah memenuhi berbagai standar internasional dalam rangka
memasok kebutuhan Eropa.
12. Pemerintah sudah larang PLTS impor untuk proyek APBN namun masih
memperbolehkan untuk proyek kuota dengan syarat TKDN minimal 40%.
13. APAMSI merekomendasikan teknologi kristalin yang padat karya dan bahan
baku yang melimpah walau belum bisa diproduksi di dalam negeri. Teknologi
thin film memang mempunyai biaya produksi yang lebih murah namun
mempunyai efisiensi yang rendah. Selain itu, industri thin film adalah industri
padat modal dengan investasi sekitar $ 55 juta/ mesin untuk kapasitas 50 MW/
tahun. Pada saat ada teknologi thin film dengan efisiensi yang lebih baik, maka
industri harus ganti seluruh peralatan karena siste produksinya adalah inline.
14. APAMSI membutuhkan teknologi micro inverter dan in-charge untuk PLTS.
Industri pendukungnya seperti panel, trafo dan PCB sudah ada di dalam negeri.
15. TKDN Baterai buatan Nipres juga sudah mencapai 48%.
16. Penjelasan singkat mengenai kuota PLTS (Permen ESDM 17/2003) :
a. Kuota Kapasitas PLTS Fotovoltaik adalah jumlah maksimum kapasitas PLTS Fotovoltaik yang dapat
diinterkoneksikan pada suatu sistem/ subsistem Jarlngan tenaga listrik milik PLN.
b. Pemerintah menugaskan PLN untuk membeli tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik.
c. PLN wajib membeli seluruh tenaga listrik yang dihasilkan dari PLTS Fotovoltaik dari badan usaha
(BUMN, BUMD, swasta, dan koperasi) yang ditetapkan sebagai pemenang lelang Kuota Kapasitas.
d. Pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik untuk semua kapasitas terpasang ditetapkan dengan
harga patokan tertinggi sebesar US$ 25 sen/kWh.
e. Pembelian tenaga listrik, jika PLTS Fotovoltaik menggunakan modul fotovoltaik TKDN sekurangkurangnya 40%, diberikan insentif dan ditetapkan dengan harga patokan tertinggi sebesar US$ 30
sen/ kWh.
f. Harga patokan tertinggi sudah termasuk seluruh biaya interkoneksi dari PLTS Fotovoltaik ke titik
interkoneksi di jaringan tenaga listrik PLN.

No comments:

Post a Comment